Artikel Detail

Pembahasan Makan di Restoran Bebas PPN 12 Persen

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru-baru ini menegaskan bahwa makanan dan minuman yang disajikan di restoran tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif sebesar 12 persen. Penjelasan tersebut mengungkapkan bahwa, meskipun PPN pada umumnya diterapkan terhadap barang dan jasa, ada pengecualian khusus terkait dengan sektor restoran dan layanan makanan. Hal ini terkait dengan peraturan yang mengatur bagaimana pajak diterapkan dalam konteks makanan yang disajikan di restoran, yang berbeda dengan barang dan jasa pada umumnya.


Menurut DJP, alasan utama mengapa makanan di restoran tidak dikenakan PPN adalah karena pajak yang berlaku di restoran merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, bukan PPN yang dikelola oleh pemerintah pusat. Ketentuan ini telah diatur dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola pajak yang dikenakan atas layanan makanan dan minuman di restoran.


Dalam sistem perpajakan Indonesia, pajak yang dikenakan atas makanan dan minuman di restoran termasuk dalam kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang berbeda dengan PPN. PBJT ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang memberikan dasar hukum bagi pengelolaan pajak daerah. Menurut Pasal 57 UU tersebut, PBJT dikenakan berdasarkan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen untuk barang atau jasa tertentu yang mereka konsumsi. Apabila tidak ada pembayaran langsung, maka dasar pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan harga jual barang atau jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah terkait.


Tarif PBJT yang dikenakan pada layanan makanan dan minuman di restoran, warung makan, atau rumah makan memiliki batas tarif maksimal sebesar 10 persen. Hal ini diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2022. Dengan kata lain, meskipun pajak ini bersifat lokal dan dikelola oleh pemerintah daerah, tarifnya tetap memiliki batasan yang jelas agar tidak memberatkan konsumen secara berlebihan.


Namun, ada perbedaan signifikan dalam tarif PBJT untuk sektor hiburan seperti diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan spa. Berdasarkan Pasal 58 UU Nomor 1 Tahun 2022, tarif PBJT untuk layanan hiburan dapat berkisar antara 40 persen hingga 75 persen, tergantung pada jenis layanan yang diberikan. Besaran tarif yang lebih tinggi ini mencerminkan tingginya nilai tambah dan daya tarik dari layanan hiburan tersebut, yang berbeda dengan layanan makanan dan minuman yang lebih bersifat kebutuhan sehari-hari.


Penting untuk dicatat bahwa meskipun makanan dan minuman yang disajikan di restoran tidak dikenakan PPN, hal ini tidak berlaku untuk semua jenis transaksi dalam sektor makanan dan minuman. Ketentuan mengenai pengecualian ini diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf c UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam peraturan ini, ditegaskan bahwa makanan dan minuman yang disajikan di tempat-tempat seperti restoran, warung makan, rumah makan, hotel, dan fasilitas serupa, tidak menjadi objek PPN.


Dengan demikian, meskipun sektor restoran dan penyedia makanan dan minuman lainnya tidak terpengaruh oleh PPN yang biasa dikenakan pada barang dan jasa lainnya, mereka tetap dikenakan pajak daerah dalam bentuk PBJT. Hal ini menunjukkan adanya pengaturan yang lebih terperinci dalam sistem perpajakan Indonesia, yang memisahkan pajak yang berlaku di tingkat pusat dan daerah, serta memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengelola pajak sesuai dengan karakteristik lokal masing-masing.