Artikel Detail

Menentukan Metode Harga Transfer yang Efektif dalam TP Doc: Sebuah Keharusan

Pentingnya Pemilihan Metode Transfer Pricing dalam Menjamin Keadilan Pajak


Dalam rangka mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan merata, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan hak kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penyesuaian terhadap transaksi yang dianggap tidak wajar antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Ketentuan ini menjadi dasar hukum dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) pada praktik transfer pricing di Indonesia.


Untuk memastikan kewajaran dalam setiap transaksi, Wajib Pajak diberi keleluasaan untuk memilih metode penentuan harga transfer yang paling sesuai dengan karakteristik transaksinya. Pilihan metode ini dimaksudkan agar transaksi dapat mencerminkan kondisi riil secara ekonomis dan layak diuji akurasinya. Beberapa metode yang dapat digunakan telah diatur dalam regulasi, seperti metode Comparable Uncontrolled Price (CUP), Resale Price Method (RPM), Cost-Plus Method (CPM), serta metode lainnya seperti Profit Split Method (PSM) dan Transactional Net Margin Method (TNMM).


Proses pemilihan metode transfer pricing dalam penyusunan Dokumen Lokal menjadi langkah strategis dalam mengevaluasi apakah transaksi antar pihak terkait telah mengikuti prinsip kewajaran. Menurut Pasal 9 ayat (12) PMK-172/2023 tentang PKKU dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, metode CUP dan Comparable Uncontrolled Transaction (CUT) dianggap sebagai metode yang paling dapat diandalkan. Kedua metode ini unggul karena berfokus pada analisis langsung terhadap harga per transaksi, karakteristik barang atau jasa, serta konteks ekonomi di balik transaksi tersebut. Meski demikian, jika transaksi tidak dapat dipisahkan dengan jelas dari transaksi lainnya—misalnya karena adanya keterikatan fungsional—maka keandalan metode CUP atau CUT pun menjadi terbatas.


Lebih lanjut, Pasal 9 ayat (13) dalam PMK yang sama mengatur bahwa jika metode RPM, CPM, PSM, dan TNMM dapat digunakan dan memiliki tingkat keandalan yang sama, maka metode yang lebih diprioritaskan adalah RPM dan CPM. Preferensi ini didasarkan pada kemampuannya melakukan pengujian di tingkat laba kotor, yang dinilai lebih mewakili kondisi riil transaksi. Semakin dekat pendekatan pengujian terhadap kondisi aktual, maka hasilnya pun dianggap semakin dapat diandalkan. Dengan demikian, pemilihan metode harus mempertimbangkan kesesuaian terhadap kondisi transaksi dan ketersediaan data yang relevan.


Dalam Pasal 9 ayat (2) PMK-172/2023, dijelaskan bahwa penentuan metode pengujian transfer pricing harus memenuhi lima kriteria utama untuk menjamin ketepatan dan akurasi. Pertama, metode yang digunakan harus selaras dengan karakter transaksi yang diuji serta profil usaha para pihak. Kedua, perlu dilakukan analisis kelebihan dan kekurangan dari tiap metode. Ketiga, penting untuk memastikan bahwa terdapat data pembanding independen yang andal. Keempat, tingkat kesebandingan antara transaksi yang diuji dengan transaksi pembanding harus diperhatikan. Kelima, keakuratan penyesuaian jika terdapat perbedaan kondisi transaksi juga menjadi faktor penentu dalam memilih metode yang tepat. Prinsip ini juga merujuk pada ketentuan OECD Transfer Pricing Guidelines (TPG) tahun 2022 yang menekankan pentingnya pendekatan “the most appropriate method”.


Pemilihan metode transfer pricing tidak boleh hanya berlandaskan pada kemudahan dalam pelaksanaannya. Faktanya, perbedaan pandangan dalam menentukan metode yang paling sesuai sering kali menjadi sumber sengketa antara Wajib Pajak dan pihak otoritas, bahkan dapat berujung pada proses banding di Pengadilan Pajak. Misalnya, dalam Putusan Nomor PUT-003747.15/2020/PP/M.XIIIA Tahun 2021, terjadi perbedaan pemilihan metode: Wajib Pajak memilih metode CUP, sementara Pemeriksa Pajak mengusulkan TNMM. Dalam kasus tersebut, Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan Wajib Pajak, karena data pembanding yang digunakan dalam metode CUP dinilai memadai dan relevan.


Sebaliknya, pada putusan Nomor PUT-007714.15/2019/PP/M.XVIIIA Tahun 2021, Wajib Pajak awalnya menggunakan metode TNMM, namun kemudian dikoreksi oleh Pemeriksa Pajak dengan menggunakan metode CUP. Pemeriksa berargumen bahwa CUP adalah metode yang paling andal berdasarkan pedoman OECD. Akan tetapi, pengadilan menolak koreksi tersebut karena tidak adanya data pembanding yang cukup untuk mendukung penerapan metode CUP. Dalam hal ini, meskipun CUP secara teori merupakan metode yang ideal, keterbatasan data membuat penerapannya tidak relevan.


Berdasarkan ketentuan hukum dan dua studi kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilihan metode transfer pricing yang tepat sangat penting untuk menghindari potensi koreksi dan sengketa. Prinsip “the most appropriate method” harus diimplementasikan dengan cermat, memperhatikan sifat transaksi serta data yang tersedia. Dengan dokumentasi yang solid dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, Wajib Pajak dapat lebih percaya diri dalam menjalankan kewajiban perpajakannya dan meminimalisasi risiko pemeriksaan yang berujung pada sengketa.