Permasalahan utama dalam sistem perpajakan Indonesia bukan terletak pada tingginya beban utang negara, melainkan pada aspek penerimaan pajak yang belum mencapai potensi optimal. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau yang dikenal sebagai tax ratio, masih tergolong rendah dan cenderung stagnan. Dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun terakhir, baik target maupun realisasi tax ratio hanya berkisar antara 9% hingga 12%, tanpa lonjakan signifikan yang mencerminkan perbaikan substansial.
World Bank dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2024 bahkan memperkirakan bahwa tax ratio Indonesia akan tetap berada di angka 10% hingga tahun 2027. Proyeksi ini menandakan bahwa tingkat kepatuhan pajak masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Tingkat partisipasi dan kepatuhan wajib pajak yang rendah menjadi penghambat utama dalam upaya peningkatan penerimaan negara.
Sebagai bentuk respons terhadap kondisi ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengembangkan berbagai strategi, salah satunya adalah pendekatan manajemen risiko kepatuhan atau Compliance Risk Management (CRM). Sistem ini kini tengah diintegrasikan dengan sistem administrasi perpajakan terbaru, yaitu Core Tax Administration System (Coretax), serta didukung oleh fitur inovatif bernama Taxpayer Account Management (TAM).
Transformasi digital di tubuh DJP menjadi bagian tak terpisahkan dari agenda reformasi perpajakan nasional. Salah satu tonggak penting dalam reformasi ini adalah penggabungan sistem CRM dengan Coretax. Melalui integrasi ini, DJP berharap dapat mengelola risiko secara lebih sistematis serta mengklasifikasikan wajib pajak berdasarkan tingkat kepatuhan mereka. TAM berperan penting sebagai jembatan integrasi data wajib pajak ke dalam satu sistem digital yang akurat dan mutakhir.
Namun demikian, penerapan sistem ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Permasalahan teknis seperti ketidaksiapan infrastruktur, resistensi internal dari pegawai DJP, serta keterbatasan pemahaman wajib pajak terhadap sistem baru menjadi penghambat signifikan. Penelitian oleh Hayati, Kadunci, dan Purwinarti (2022) menunjukkan bahwa pemutakhiran data yang belum optimal berdampak langsung pada akurasi dan efektivitas CRM dalam pengawasan pajak.
Meski menghadapi banyak hambatan, CRM berbasis Coretax telah menunjukkan capaian positif. Studi dari Diamendia dan Setyowati (2021) menyatakan bahwa sejak 2019, CRM berkontribusi terhadap peningkatan kepatuhan serta efisiensi dalam proses administrasi perpajakan.
Implementasi TAM dalam CRM berbasis Coretax juga menghadapi tantangan dari sudut pandang organisasi. Dengan menggunakan pendekatan Institutional Isomorphism oleh DiMaggio & Powell (1983), resistensi tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
Coercive Isomorphism (Tekanan Regulasi): DJP dituntut untuk segera mengadopsi Coretax sebagai bagian dari reformasi pajak. Namun, penelitian oleh Winardi (2025) mengungkap bahwa proses adopsi dilakukan terlalu tergesa-gesa tanpa pilot project yang memadai, sehingga mengakibatkan gangguan teknis pada tahap awal peluncuran.
Mimetic Isomorphism (Peniruan Model Negara Maju): Indonesia mencontoh sistem digitalisasi perpajakan dari negara seperti Jepang dan Norwegia. Namun, kurangnya kesiapan infrastruktur dan SDM menjadi batu sandungan utama. Studi Tambunan (2020) menyoroti bahwa kesuksesan sistem di Norwegia didorong oleh dukungan teknologi dan kompetensi SDM yang tinggi—hal yang belum sepenuhnya tersedia di Indonesia.
Normative Isomorphism (Kebiasaan Organisasi): Pegawai DJP cenderung masih nyaman dengan sistem lama, sementara wajib pajak menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan Coretax. Penelitian Nafisah & Widodo (2024) menyebutkan bahwa minimnya pelatihan dan sosialisasi menjadi alasan rendahnya penerimaan terhadap sistem baru.
Guna menjawab berbagai kendala yang dihadapi, sejumlah solusi strategis dapat ditempuh oleh DJP untuk memaksimalkan fungsi TAM dalam CRM, antara lain:
Penguatan Infrastruktur Teknologi: DJP perlu meningkatkan kapasitas sistem dan keamanan data, bekerja sama dengan BSSN untuk memitigasi risiko kebocoran informasi. Strategi parallel running—mengoperasikan sistem lama bersamaan dengan Coretax—juga bisa menjadi solusi transisi yang lebih aman (Winardi, 2025).
Pengembangan SDM dan Edukasi Wajib Pajak: Pelatihan mendalam bagi pegawai DJP serta edukasi publik melalui berbagai media, seperti webinar, tutorial interaktif, dan layanan daring sangat penting agar transisi ke sistem baru dapat diterima dengan baik (Phinanti & Tobing, 2022).
Pemanfaatan Teknologi Mutakhir: Integrasi teknologi seperti big data dan machine learning dapat membantu TAM dalam memetakan profil kepatuhan wajib pajak dengan lebih akurat. Misalnya, wajib pajak yang taat dapat diberi insentif, sedangkan yang berisiko tinggi dapat dikenai pengawasan lebih ketat melalui notifikasi otomatis dari sistem.
Perubahan sistem perpajakan menuju digitalisasi adalah keniscayaan. Coretax dan CRM hadir sebagai pilar utama dalam upaya reformasi ini, dengan TAM sebagai penggerak integrasi dan sentralisasi informasi wajib pajak.
Agar tujuan tersebut tercapai, DJP perlu fokus pada tiga hal utama: memperkuat infrastruktur digital, meningkatkan kapabilitas SDM, dan mengembangkan sistem berbasis data yang presisi. Pendekatan ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas pengawasan, tetapi juga memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara transparan dan efisien.
2025-07-16 19:31:15
2025-07-14 16:46:37
2025-07-11 16:52:21
2025-07-09 16:38:00
2025-07-07 16:27:19
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved